Pulang ke rumah selalu menyisakan cerita, yang akan gue bawa sebagai kenangan ketika kembali mengembara ke Sumatera. Ini salah satu cerita menarik yang gue dapat selama liburan Idul Fitri kemarin. Bukan sebuah cerita pengalaman, lebih tepatnya ikhtisar sebuah diskusi.
So, Here’s the story..
Seperti biasa, setiap musim liburan, gue dan temen-temen SMA gue ngumpul-ngumpul. Sekedar ngopi bareng sambil cerita kebodohan masa lalu, tertawa bersama, sharing pengalaman, sampai saling tukar informasi dalam menghadapi kerasnya dunia nyata.
Kami janjian malam itu di depan
SMA 1 Semarang. Ya, daripada bingung milih tempat. Tempat terbaik untuk
ngumpul. Tempat dimana kami dulu mulai saling mengenal. Yap, 6 tahun sudah
berlalu sejak kami melepaskan seragam putih abu-abu itu. Orang-orang yang sama,
dengan sifat yang tidak pernah berubah. Hanya situasi yang mungkin berubah.
Dulu, kami berkumpul, selayaknya seorang anak SMA, tanpa beban. Berani
menantang dunia. Tanpa rasa takut, mencoba hal-hal baru, membuat kenakalan-kenakalan
konyol dan bodoh. Semua berjalan begitu saja. Tanpa banyak pertimbangan, tanpa
banyak pikiran. Murni.
Gue gak yakin separuh dari kami
masih memiliki kemurnian, keberanian dan kenekatan seperti 6 tahun lalu. Iya
kan, seiring berjalannya waktu, seiring proses kedewasaan seseorang, perlahan
semua berubah. Kini kita tidak lagi bertindak seberani dulu. Penuh
pertimbangan, penuh pemikiran, penuh kepentingan, yang justru terkadang membuat
langkah kita menjadi lamban, tidak lagi segesit dulu. Kemurnian itu perlahan-lahan
sirna, seperti minyak yang telah dipanaskan dan dipakai menggoreng tempe.
Pekat, sudah tidak terlalu sehat.
Pernah gak kalian merasakannya?
Suasananya sudah tidak lagi sama seperti dulu. Dulu, semua berkumpul tanpa
sekat. Membaur apa adanya. Semua terasa mulai berbeda ketika beranjak dewasa.
Sekat-sekat itu makin melebar, manjadi jarak, yang lantas semakin menganga
menjelma menjadi lubang besar yang tidak lagi bisa dilompati bahkan hanya untuk
sekedar bertatap muka.
Gue cukup beruntung punya teman-teman
yang tidak pernah berubah. Kami masih sama, seperti 9 tahun lalu ketika mulai masuk
SMA, berkumpul tanpa ada sekat, saling berbagi satu sama lain. Kami mungkin tak
lagi bisa bertemu dan berbagi setiap hari seperti dulu. Ngobrol dan main Explode
Arena atau Asphalt via bluetooth
di HP Symbian ketika pelajaran berlangsung, ngumpet-ngumpet ngerokok di kantin
saat jam istirahat, saling melindungi satu sama lain, nongkrong di warung nasi
kucing di depan sekolah, menjelajah kota di akhir pekan, melakukan hal-hal gila
bersama-sama, saling support di saat susah. Ahh..sepertinya baru kemarin
saat-saat itu.
Alhamdulillah. Gue sangat
bersyukur atas ini. Mungkin terlihat sederhana, tapi gue cukup yakin gak banyak
yang seberuntung gue, punya sahabat yang tetap lekat, tanpa tergerus waktu.
Tanpa berjarak sekat bernama saling pamer, saling sombong. Justru sebaliknya,
saling membantu untuk kemajuan bersama. Wonderful,
eh..?!
Enam tahun bukan waktu yang
singkat. Banyak hal yang kita alami dan pelajari selama itu. Selepas SMA, kami
mengambil jalan kami masing-masing, ada yang meneruskan kuliah di Hukum,
Ekonomi, Kedokteran, Psikologi, Komunikasi, bahkan peternakan. Demikian setelah
kami lulus kuliah. Sekarang, Gue jadi auditor abal-abal yang terdampar di Sumatera,
ada yang jadi dokter gigi amatiran (alias tidak dibayar, karena masih Koas :D
), ada yang jadi auditor di belantara Kalimantan, ada yang jadi Bankir, ada
yang langsung lanjut kuliah lagi, ada yang berwirausaha, ada juga yang masih
belum lulus kuliah (Tragiss... :p ). Bermacam
jalan dan pengalaman hidup yang memungkinkan kami mendengar banyak cerita saat
ngumpul seperti ini. Seperti melahap beberapa buku dalam satu waktu. Nikmat.
Di tengah canda gurau, salah
seorang temen gue, sebut saja ST, seorang calon psikolog labil, melempar sebuah
pertanyaan serius, “menurut kalian, apa sih tujuan kita diberi hidup..?!”
Sebuah pertanyaan yang sulit, eh..?!
Menurut dia, hidup itu sebuah seleksi, sebuah audisi. Sebuah audisi
apakah kita layak untuk ikut serta dalam tahap selanjutnya yang lebih menarik.
Lolos tidaknya kita, tergantung usaha kita selama proses audisi. Kayak Audisi Indonesian Idol di kota-kota lah. Kamu
bagus, kamu ke tahap selanjutnya, Jakarta. Sebaliknya, Kamu buruk, langsung
tersisih, tanpa pernah tahu seperti apa tahap selanjutnya yang lebih menarik
itu.
Dia melanjutkan, hidup itu ibarat
kita naik kereta. Sebuah kereta yang bergerak cepat ke satu tujuan. Sama
seperti kehidupan, terus berjalan menuju satu keniscayaan.. Akhirat.
Semua orang naik kereta itu, ada
yang naik dari stasiun pertama, ada yang naik di stasiun selanjutnya. Ada
manusia yang lahir duluan, ada yang lahir belakangan. Di dalam kereta, bermacam
manusia ada. Ada orang tua, ada pria dewasa macho, ada ABG labil, ada anak
kecil. Sama seperti di kehidupan. Di kereta, terkadang ada orang yang naik
belakangan, tapi turun duluan. Sama seperti dalam hidup, beberapa orang mati
muda, lahir belakangan, mati duluan.
Di kereta, ada orang yang begitu aware dengan sekitar, seperti seorang
pemuda yang merelakan kursinya untuk diduduki seorang ibu yang tengah
menggendong bayi, atau seseorang yang rela membantu mengangkatkan kopor besar
seorang lansia ke tempat penyimpanan bagasi. Tapi ada juga yang cuek, asyik
tidur di kursi sambil menempelkan headset
di kuping dengan volume maksimal, sementara ada seorang nenek berusia 75 tahun
berdiri kepayahan. Bahkan ada yang jahat, mencopet dompet orang lain ketika
berdesak-desakan. Sama seperti hidup. Ada orang baik, ada orang jahat.
Kereta bergerak cepat ke satu
tujuan. Tapi setiap orang di dalamnya, tidak naik di tempat yang sama, tidak
melakukan hal yang sama di dalam kereta, bahkan masing-masing belum tentu punya
tujuan yang sama. Ada yang ingin turun di Stasiun A, ada yang turun di Stasiun
B. Sama seperti hidup, manusia tidak lahir bersamaan, hidup dengan cara yang
berbeda-beda, dan masing-masing memiliki tujuan yang berbeda. Ada yang hanya
ingin memburu nikmat dunia, ada yang senantiasa berbuat baik untuk orang lain,
bahkan ada yang memutuskan untuk tidak terlalu menikmati dunia. Semua terserah
masing-masing orang. Tapi selamat atau tidaknya sampai tujuan, tanggung
masing-masing.
Sebuah analogi yang menarik.
Sangat masuk akal. Obrolan terus bergulir deras. ST lantas melanjutkan,
baru-baru ini di Barat sana ditemukan adanya gen pembunuh. Sebuah penemuan yang
memicu munculnya ide kontroversial untuk menghilangkan hukuman mati dan hukuman
seumur hidup untuk pembunuh. Mengapa..?! Ya, karena mereka terlahir dengan gen
pembunuh. Jadi bukan salah mereka kalau mereka membunuh, karena mereka terlahir
sebagai pembunuh, itu artinya mereka tidak layak dihukum seberat itu. Woow...
Kami berdebat cukup panjang
masalah ini. Gue ngotot bahwa pembunuh tetap harus dihukum berat. Karena
walaupun dia tidak salah, minimal dia pernah merenggut Hak hidup orang yang dia
bunuh. Melanggar HAM. HAM paling dasar, Hak untuk hidup. Kalaupun itu bukan
salah si pembunuh, minimal dia harus diamankan agar tidak kembali merenggut hak
hidup orang yang lain. Perdebatan kami berakhir tanpa suatu kesimpulan yang
sama.
ST lantas bertanya ke gue, “Menurut
lu, mana yang lebih kuat mempengaruhi karakter seseorang, bawaan lahir, didikan
orang tua, atau lingkungan?” Gue menyebut “bawaan lahir” adalah faktor terkuat.
Sudah banyak contohnya. Ada orang yang lahir dari keluarga penjahat, hidup di
lingkungan keras, tapi berakhir sebagai orang baik. Sebaliknya, gue juga punya
temen yang ayahnya seorang ulama, dibesarkan dengan ilmu agama, tapi berakhir
sebagai begundal. ST setuju dengan gue. Dia mencontohkan dirinya sendiri. ST
punya kembaran. Kembar identik. Sangat identik. Postur tubuh sama. Gaya yang
hampir sama. Orang yang tidak terlalu kenal mereka, akan sangat kesulitan untuk
membedakan ST dengan kembarannya. Dia dan kembarannya dilahirkan dari rahim
yang sama, dididik dengan cara yang sama, besar di lingkungan yang sama, tapi
setelah dewasa, mereka tetap memiliki perbedaan karakter dan sifat. Jawabannya
jelas, itu karena “bawaan lahir” mereka sedikit berbeda.
Lantas gue berpikir, kalau memang
sifat dan karakter itu bawaan, berarti standart dosa dan pahala itu berbeda
dong. Orang yang memang dilahirkan dengan sifat bawaan pemarah dan emosian,
tersinggung dikit ngamuk, apakah dia “layak berdosa” karenanya..?! Sama seperti
orang yang dilahirkan dengan sifat bawaan sabar, mau dikatain apa aja tetap
tersenyum, apakah pahalanya sebanyak orang pemarah yang sanggup menahan
emosinya?!
ST tersenyum mendengar pernyataan
gue. “Itu yang gue maksud. Sama seperti perihal sedekah. Orang dengan gaji 10
juta perbulan, sedekah 10 ribu. Apakah sama pahalanya dengan sedekah 10 ribu
dari Orang miskin gak punya rumah, di kantungnya hanya ada uang 20 ribu, tapi
dia menyedekahkan separuhnya. Apakah sama..?! Kalau sama malah terkesan tidak
adil kan..?!” Spot on.
“Terus kesimpulannya..?!” kata
gue.
ST menimpali “Gak ada
kesimpulannya. Justru itu menariknya perbincangan tentang kehidupan. Kita
berdebat dan beragumen tentang banyak hal, menyelami misterinya, tapi tidak
pernah tahu kebenaran mutlak apa di balik itu semua. Menurut gue, yaah.. jalani
sajalah. Semaksimal yang kita mampu. Biar Yang Maha Kuasa yang menilai kita”
Menarik. Sangat menarik.
Pernahkah kalian berpikir seperti itu? Bahwasanya standart pahala dan dosa
masing-masing orang itu berbeda? Karena masing-masing dari kita dilahirkan
berbeda. Dengan karakter bawaan masing-masing yang berbeda.
Kalau kamu sebenarnya orang yang
sabar, tapi tetap saja marah ketika dijahatin orang, mungkin dosamu akan lebih
besar. Jadi pahala atau dosa yang kita peroleh akan tidak sama dengan orang
lain, meski kita melakukan hal yang sama. Benarkah..?! Entahlah. Hanya Yang
Maha Tahu yang mengetahui rahasia ini. Kita hanya bisa menerka. Kalau menurut
gue, lakukan saja terbaik semaksimal yang kita bisa. Perihal perhitungan
pahala-dosa yang tadi disebutkan, serahkan saja pada Yang Maha Kuasa.
Diskusi ngalor-ngidul malam itu
terus berlanjut. Satu topik habis,
berganti topik yang lain. Terus mengalir tanpa arah yang jelas, tapi sangat
bermakna. ST kembali melempar topik menarik. “Gue merasa beruntung lo, dulu
kita bandel. Tau gak, Mario Teguh pernah mengemukakan, bahwa orang yang pernah
menjadi Bad Boy di masa mudanya itu
lebih besar potensinya untuk sukses daripada Good Guy. Karena Bad Boy
sudah mengalami banyak hal. Pahit manis hidup. Menurut gue juga gitu, Bad boy lebih luwes, mudah membaur,
karena udah kebentuk dari masa-masa silamnya yang bandel. Bad Boy juga relatif lebih tenang dan dewasa dalam menghadapi
masalah hidup di kemudian hari, karena di masa mudanya, mereka sudah pernah
menghadapi banyak masalah dan kekacauan yang lebih rumit, akibat dari kenakalan
dan tingkah polahnya, yang tentu tidak pernah dialami oleh good guy. Sekarang, lihat lah, yang kita lakuin cuma duduk-duduk
ngopi sambil ngobrol disini. Kita seneng. Bahagia. Karena kita dulu udah pernah
merasakan yang aneh-aneh. Gak seperti orang lain yang dulu good guy, Cuma rumah, ke sekolah, terus pulang. Gak tahu apa-apa di
dunia luar. Begitu kerja, tahu dunia luar, punya duit yang bisa membeli semua
kenikmatan dunia, baru tahu yang aneh-aneh, malah baru bandel. Telat...”
Pernyataan yang exactly right. Gue juga merasa demikian.
Bersyukur gue dulu bad boy. Bolos, berantem, dihukum guru, keluyuran
kesana kemari, ditangkap polisi karena ugal-ugalan di jalan, yaah..bisa
dibilang sudah merasakan semua kegilaan hidup, yang tentu aja gak mungkin semua
gue tulis disini. Privasi, bos.. :D
Sekarang, ketika gue udah bisa
cari duit sendiri, gue gak lagi tergoda untuk melakukannya. Semua udah gue abisin jaman SMA dan kuliah. Gue udah pernah
mengalami semua kegilaan itu. Nakal dulu baru sukses, bukannya sukses dulu baru
nakal.. Owyeaahhh...!!!
Obrolan tak tentu arah terus
bergulir. Menyingkap setiap isi otak masing-masing dari kami, yang anehnya,
hampir seragam. Mungkin karena kami
tumbuh berkembang mulai mengenal dunia luar bersama-sama, ketika SMA, sehingga
secara pemikiran, kami sejalan. Entahlah.
Giliran gue melemparkan topik.
“Masih ingat gak jaman kita SMA?! Saat itu kita merasa begitu istimewa.
Superior. Ego dengan diri dan kelompok kita. Sombong atas apa yang telah kita
raih..” Temen-temen gue tertawa kecil, mengiyakan pernyataan gue. Gue melanjutkan “Pemikiran itu sekarang udah
sirna dari otak gue. Gue sering berpikir kalau lagi di perjalanan, katakan di
stasiun, terminal atau bandara. Melihat orang lalu lalang, bepergian ke banyak
tujuan, dengan urusannya masing-masing. Semua menganggap urusan mereka penting,
padahal untuk orang lain tidak. Ada yang begitu senang karena akan ketemu
dengan anaknya di Surabaya, tapi buat gue, ngapain ke Surabaya..?! Kesimpulannya,
pada dasarnya kita itu hidup sendiri. Kita lahir sendirian, dan mati juga
sendirian. Itulah.. dalam hidup, sebenarnya semua orang bergumul dengan
urusannya masing-masing, berputar begitu cepat, dan kalau sekali saat kita
memiliki satu urusan dan kepentingan yang sama dengan orang lain, disitulah baru
kita berinteraksi. Selebihnya..?! Ketika
kita tidak memiliki kesamaan urusan dan kepentingan dengan orang lain di suatu
waktu yang sama, maka kita sendirian. Sesimpel itu. Yahh.. meskipun dalam beberapa hal, tenggang
rasa dan kepedulian masih bisa menyatukan kita, walau tidak memiliki urusan
yang sama.. tapi itu sangat jarang..”
Gue melanjutkan.. “Sebenarnya,
kita benar-benar gak punya hak untuk sombong. Sebagai contoh, oke, Lionel Messi
itu pemain sepak bola terbaik. Tapi apa dia bisa main billiard? Apa dia bisa
main badminton? Apa dia bisa ngaudit? Gak bisa. Jadi, Menurut gue, tidak ada
tuh kesombongan mutlak. Tidak ada kehebatan mutlak. Seperti contoh Messi tadi,
dia memang terhebat di Sepakbola, tapi dia bakal dibantai habis-habisan kalau
main billiard lawan Mika Immonen atau main badminton sama Taufik Hidayat. Kalau
orang seterkenal Messi aja tidak terlalu pantas untuk sombong, mengapa kita
sombong..?! Bangga akan prestasi kita
bolehlah, tapi jangan sombong. Contoh simpel
lain, temen cewek SMA kita, si X. Dia cantik, model, kaya, baik, banyak orang
di Semarang kenal dia. Tapi di Padang sana, gak ada tuh yang kenal dia. Jadi,
apa lagi yang pantas kita sombongkan..?!
Ya gak...”
ST, si calon psikolog labil,
kembali menimpali, “Bener banget. Gini deh gue kasih tahu hal paling gampang
buat menyadari hal ini. Gue seneng pergi ke pantai, memandangi ombak, lautan
itu kan luas banget, itu baru lautan. Belum darat, dan segala manusia di
dalamnya. Jadi pada dasarnya, kita ini hanya sebuah elemen dalam roda kehidupan
yang terus berputar dengan cepat. Kita ini apalah. Dunia ini akan tetap
berputar walaupun kita tidak ikut nyemplung di dalamnya. Yang menjadi penting
adalah, bagaimana kita memberi warna dalam perputaran itu, untuk memberi arti
kita dalam hidup..”
Wow. Dalam. Luar biasa. Gak
setiap hari kami ngobrol berat macam ini. Kami lebih sering ngobrol ringan
ngalor ngidul dan bergurau tertawa lepas. Tapi sharing berat dan dalam seperti ini sangatlah mengena dan bermakna.
Kami sudah beranjak dewasa. Pemikiran semakin dewasa. Pengalaman dan cobaan
hidup menempa diri untuk menjadi lebih baik.
NGW, temen gue yang lain, lantas
kembali membuka perbincangan unik. “Oke, ya kadang gue juga berpikir, apa
sebenarnya tujuan kita hidup. Kan bukan berarti kita ingin lolos audisi, tidak
sombong, trus kita diem aja dalam hidup..?? Dikasi pas-pasan ya udah. Gak
dikasih ya gak pa-pa. Kan gak gitu juga. Namanya payah kalau kek gitu... Apa
salah kalau kita punya keinginan, yah, katakan pengen punya mobil, pengen punya
rumah, dsb..”
Pertanyaan simpel yang udah lama
gue temukan jawabannya. “Gak salah, sama sekali gak salah. Justru keinginan,
harapan, dan tujuan itulah yang membuat kita tetap semangat dalam menjalani
hidup. Yang menjadi masalah sekarang adalah, apa sih tujuan hidup lu..?!
Sekarang gini, kalau tujuan lu kerja supaya pengen punya mobil, lantas lu
bekerja keras banting tulang meres keringat untuk mewujudkannya, dan ketika lu
akhirnya bisa beli mobil, apa trus lu jingkrak-jingkrak kegirangan banget. Gak
kan..?? Oke awalnya lu pasti seneng banget. Tapi udah lepas sebulan, pasti udah
berasa biasa aja kan. Yang ada di pikiran lu kemudian pasti what’s next..?? what’s next..?? Jadi
men, sebenarnya bahagia itu lebih ke prosesnya, bukan hasilnya. Bagaimana kita
menikmati setiap proses yang kita lakukan dalam mencapai tujuan. Jadi begitu
tujuan sudah tercapai, selang beberapa saat, kesuksesan itu akan jadi hambar.
Biasa saja, sampai akhirnya kamu memutuskan mencari tujuan lain untuk dicapai.
Semisal, beli rumah. Tujuan jangka pendek ke tujuan jangka pendek lain. Begitu
terus, bekerja keras, tujuan tercapai, senang sesaat, merasa hambar, lalu
mencari tujuan lain..”
Kami terdiam, meresapi setiap
kata dan makna yang terkandung di dalamnya. Asyik menyelam ke pikiran
masing-masing untuk mencari jawaban.
Gue melanjutkan.. “Lu mau tahu
resep yang lebih menarik? Tetapkan suatu tujuan besar jangka panjang dalam
hidup lu. Suatu tujuan jangka panjang yang hanya bisa dicapai kalau kita
berhasil meraih tujuan-tujuan jangka pendek. Sebuah future plan. Kalau gue, tujuan utama gue simpel, ingin bermanfaat
buat orang banyak. Termasuk keluarga dan orang-orang terdekat gue. Tujuan
menjadi mindset, yang lantas membuat
gue berpikir, bagaimana cara supaya gue bisa bermanfaat untuk orang banyak. Gue
gak akan bisa bermanfaat untuk orang banyak kalau gue miskin. Boro-boro
bermanfaat untuk orang banyak, memberi manfaat untuk diri gue sendiri aja
kepayahan kalau miskin. Karena itulah gue bekerja. Dapet duit. Senang..??!
tentu. Tapi gue lantas gak merasa hambar dan idle terlalu lama. Karena punya duit bukan tujuan utama gue, hanya
sebuah tujuan jangka pendek menuju tujuan utama : bermanfaat untuk orang
banyak..”
“Bodoh namanya kalau gue punya
cita-cita seperti itu, tapi gue gak bisa membahagiakan keluarga gue sendiri.
Caranya macam-macam. Misalnya salah satunya, yah, biar kalau pengen ngajak
nyokap jalan-jalan, nyokap gue gak kepanasan, gak kehujanan, gue harus punya
mobil. Jadi gue bekerja keras untuk mewujudkannya. Setelah gue akhirnya
berhasil beli mobil, gue gak merasa hambar, karena tujuan gue bukan punya
mobil, tapi bermanfaat untuk orang banyak, sampai fase ini tentu saja nyokap
gue sendiri. Dan terus begitu seterusnya. Jadi setiap gue berhasil memenuhi
satu tujuan jangka pendek, gue tidak merasa hambar, karena gue punya tujuan
jangka panjang yang belum tercapai, bermanfaat untuk orang banyak.. Jadi gue
terus terpacu untuk bergerak, mendekat ke tujuan, tanpa sekalipun merasa kesuksesan-kesuksesan
kecil gue hambar.. Yaah.. itu kalau gue
ya. Terserah lah apa tujuan jangka panjang yang pengen lu raih. Menurut gue, mindset seperti ini lebih renyah dan
gurih untuk dijalani..”
“gak nyangka gue sekarang lu
punya pikiran kayak gini... Tapi yakin deh, kalau kita udah paham makna dan
tujuan hidup, kita akan lebih ikhlas dan santai menjalaninya. Menghadapi setiap
masalah dengan senyuman, menikmati setiap kesuksesan dengan tawa.. Ikhlas...” ST menimpali gue.
“Men, hidup mengembara jauh dari
rumah itu kejam. Dari situlah gue belajar banyak tentang hidup. Pemikiran gue
emang banyak berubah. Tapi bener dah, gue masih tetap seperti dulu. Santai dan
apa adanya. Jangan terlalu serius laah....” kata gue.
Obrolan ngalor-ngidul kami terus
berlanjut seiring hangatnya kopi yang di-sruput.
Bermacam cerita diungkapkan. Berbagi pengalaman pahit manis hidup, mulai dari
cerita ST yang dikejar-kejar Debt
Collector karena motor yang dia jual secara Oper Kredit ternyata macet
angsurannya oleh pemilik baru yang gak ketahuan keberadaannya, NGW si bankir
newbie yang bercerita tentang kebusukan kejahatan perbankan level atas di
Indonesia, AD yang masih saja galau memikirkan langkah apa yang akan diambilnya
setelah (akhirnya) wisuda sebentar lagi, gue yang berbagi cerita kebusukan koruptor-koruptor
kelas teri yang gue audit sampai pengungkapan fakta bahwa mustahil untuk
menemukan penjual tahu gimbal di Padang, dan tak lupa cerita cinta yang selalu
menarik untuk diperbincangkan. Semuanya mengalir begitu saja, tanpa hambatan,
tanpa sensor. Murni, apa adanya. Semurni persahabatan jaman SMA dulu, yang
Alhamdulillah masih terus terjaga sampai sekarang. Tanpa sekat, tetap lekat.
Adzan Shubuh berkumandang,
membubarkan acara ngumpul-ngumpul kami malam sampai pagi itu. Bermacam makna
dan cerita menarik gue dapat malam itu. Itulah menyenangkannya persahabatan dan
ngumpul-ngumpul. Dimana kita bisa saling berbagi cerita, membagi suka dan duka,
saling support satu sama lain. Sedaaapp..
Terus Kesimpulan tulisan ini
apa...?!
Jiahhh...Ngapain nanya
kesimpulan..?! Kan tadi udah dibilang, Gak ada kesimpulannya. Justru itu
menariknya perbincangan tentang kehidupan. Kita berdebat dan beragumen tentang
banyak hal, menyelami misterinya, tapi tidak pernah tahu kebenaran mutlak apa
di balik itu semua. Mengambang samar-samar seperti air pipis yang dikeluarin di
kolam renang.
yaah.. jalani sajalah.. Sebaik
dan Semaksimal yang kita mampu.. Santai ajalah..
Why so serious..??! :D
Blogger Comment
Facebook Comment