Pelayanan publik di Indonesia diatur di UU No.25 Tahun 2009.
Dari penjelasan di UU tersebut, bisa disimpulkan bahwa sejatinya
Pelayanan Publik adalah produk dari Birokrasi di Republik ini, yang
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Mari kita lihat teorinya.
Birokrasi (bahasa inggris bureaucracy) pertama kali dicetuskan oleh Max Weber.
“Ohh, yang pembalap F-1 itu ya..??! Waah, hebat ya.. udah pembalap, ganteng, terkenal, kaya, pintar lagi…"
“C’mon mannn.. I’m fast..!! I don’t have enough time to think about something like that..!!” |
Bukan.. bukan yang pembalap F-1 itu. Kalau itu namanya Mark Webber. Yang dimaksud disini adalah Max Weber (1864-1920), beliau seorang sosiolog, filsuf, dan ahli ilmu politik dan ekonomi berkebangsaan Jerman. Suatu hari, entah dapat wangsit darimana, Om Weber mencetuskan sebuah ide mengenai gambaran tipe ideal dari administrasi publik dan pemerintah. Ketika itu, dari hasil penerawangannya, birokratisasi adalah cara yang paling efisien dan rasional dalam pengorganisasian.
“Birokrasi adalah bentuk paling efisien dari organisasi. Problem??” |
Sejatinya, Birokrasi adalah sebuah konsep yang bagus. Tapi sayangnya, implementasinya di Republik kita tercinta ini masih jauh dari harapan. Aturannya manis, tapi implementasinya sadis. Melihat fenomena menyedihkan ini, para hansip kami lantas mencoba mengumpulkan fakta dan menganalisis data untuk mencari tahu penyebab buruknya pelayanan publik di birokrasi kita. Dan sebagai elemen masyarakat yang ingin ikut berperan dalam mewujudkan Indonesia yang lebih baik, kami para hansip juga menyertakan sedikit solusi buah pemikiran kami untuk setiap masalah yang ada.
Tri Tuntutan Rakyat |
Sebelumnya,
kami ingin berpesan bahwa artikel ini dibuat berdasarkan opini berdasar beberapa fakta saja, dan tidak
ada maksud untuk memojokkan atau menjatuhkan pihak-pihak tertentu, terutama teman-teman PNS muda yang kami tahu masih
ideal tapi belum punya cukup power
untuk mengubah keadaan. Peace,
mas bro, kami semua mengerti keadaanmu
dan justru mendukungmu sepenuh hati.
Tanpa
berlama-lama lagi, Inilah dia...
1. Kurangnya Sosialisasi Peraturan
Seperti kata Om Weber, dalam birokrasi, semua tindakan diambil atas
dasar peraturan tertulis. Ya, di Indonesia, semua urusan sebenarnya
sudah ada peraturannya, tapi sayangnya, peraturan-peraturan itu kurang
disosialisasikan. Jadi kita seperti buta saat mencoba mencari tahu
tentang sesuatu, seperti masuk ke dalam labirin.
Jauh di dalam sana.. ada juga minotaur penjaga yang siap melumat Anda.. |
Informasi mengenai kejelasan mengenai peraturan dan prosedur baku
(SOP-Standart Operating Procedure) yang berlaku masih sangat kurang.
Padahal, ini sangat penting, terutama di pos-pos pelayanan masyarakat
yang strategis. Misalnya perihal pengurusan administrasi kependudukan,
seperti KTP, Sertifikat Tanah, Paspor, atau Surat Nikah (Maaf buat para Jomblo Lapuk Putus asa, mungkin bagi kalian pengurusan surat nikah belum strategis. Tapi percayalah, suatu saat kalian akan membutuhkannya).
Lebih rumit dari cara pikirnya Om Juki.. |
Akibatnya, informasi yang sampai ke masyarakat umum menjadi terbatas
dan terkesan simpang-siur. Banyak masyarakat yang tidak tahu mengenai
prosedur baku (SOP-Standart Operating Procedure) suatu layanan.
Celakanya, hal ini lantas dimanfaatkan oleh segelintir oknum tidak
bertanggung jawab atau orang-orang oportunis yang duduk di birokrasi,
untuk menjalankan “aksi”-nya demi keuntungan pribadi. Bagaimana
modusnya..?!
Yes, contohnya ini.. |
Di beberapa tempat, untuk mengurus perpanjangan KTP saja bisa makan
waktu 1 minggu bahkan lebih. Wow. Butuh waktu selama itukah untuk
mencetak satu kartu..?! Wadepug..!! Selain itu banyak ditemui
“pungutan” tambahan di luar tarif resmi yang berlaku. Misalnya tarif
resminya Rp7.500, tapi masyarakat dipungut Rp15.000. Ini bukan soal
itung-itungan Rp7.500 kelebihannya, tapi soal tegasnya penerapan
peraturan dan etika birokrasi. Sungguh memalukan. Err..Lagipula, kalau
mau dihitung-hitung, misalnya dalam sebulan ada 3.000 orang yang ngurus
KTP, jadi lumayan juga tuh.. Rp22.500.000. Itu baru sebulan, kalau
setahun, 2 tahun, 5 tahun.. woow..woow.
Dikit-dikit lama-lama jadi bukit.. |
Well, itu hanyalah sebuah contoh kecil. Di areal pelayanan
publik yang lain juga banyak ditemui penyimpangan serupa, dengan modus
yang beragam. Bahkan mungkin dengan nominal penyimpangan yang lebih
besar. Masalahnya, kesimpang-siuran dan ke-abu-abu-an peraturan ini
terkesan malah dibiarkan, dengan “tujuan” agar masih tersisa “celah”
untuk bisa dimanfaatkan demi keuntungan pribadi, yang ujung-ujungnya
bermuara ke……
Yes! DUIT..!! |
“Ohh…gitu ya.. Jadi, apa solusinya nih..??”
Kalau menurut kami, di jaman internet ini, bagusnya ada sebuah situs
resmi dari pemerintah yang memuat semua peraturan mengenai segala bentuk
pelayanan publik. Jadi masyarakat bisa mencari informasi dengan lebih
mudah. Kemudian, sebagai langkah nyata, gencarkan sosialisasi peraturan
ke masyarakat, baik dalam bentuk sosialisasi langsung, maupun
menggunakan perantara media cetak.
Perbanyak Sosialisasi langsung ke masyarakat |
Dan yang paling oke untuk mengantisipasi ada “orang dalam” yang iseng
mempermainkan aturan demi keuntungan pribadi, tempelkan saja banner
kutipan peraturan itu besar-besar di lokasi pelayanan. Dijamin ampuh.
Yang begini niihhh.. Mantap..!! |
Oh, ya, biar gak salah paham, ini foto lama lo. Kalau pengen tahu tarif SIM yang terbaru, lihat di Peraturan Pemerintah RI Nomor 50 Tahun 2010.
2. Kinerja Pegawai Rendah
Sudah jadi rahasia umum kan, kalau etos kerja pegawai pelayanan
publik kita buruk. Ini termasuk masalah kedisiplinan yang rendah, attitude
dalam memberikan pelayanan yang kurang baik, maupun kurang tegasnya
sanksi bagi pegawai yang berkinerja buruk. Ya, disini kita sedang
membicarakan tentang tidak ramah saat memberikan pelayanan, tidak tepat
waktu, lambat, kebanyakan ngobrol, sering bolos kantor untuk belanja di
pasar, dan lain sebagainya.
Jadi bagaimana pelayanan publik bisa maksimal kalau pegawai-nya tidak
disipilin, berkinerja rendah, dan tidak takut berbuat kesalahan karena
tidak adanya sanksi yang tegas. Sebagai contoh mudah, soal sering ngaret-nya jam buka pos pelayanan (apapun itu), yang mengakibatkan antrean panjang. Masyarakat jadi korban.
Tim hansip kami lantas mencoba melakukan observasi mengapa hal ini
bisa terjadi. Melalui tekhnik wawancara langsung dengan beberapa
pegawai, sebagian besar mengemukakan rendahnya penghasilan sebagai
alasan rendahnya kinerja mereka. Well, pernyataan ini mungkin bersifat debatable.
Karena ukuran besar-kecil penghasilan sangat relatif. Sebagai contoh,
buat Om Ical, mungkin Rp15.000.000 perbulan itu sangat kecil, tapi
rakyat jelata seperti kita jelas akan langsung manggut-manggut tanpa
pikir panjang kalau ditawari pekerjaan dengan bayaran sebesar itu.
Bahkan walaupun pekerjaannya seperti ini... |
Kami lebih tertarik untuk mencoba membuat hipotesis sendiri, mengapa
etos kerja pegawai kita rendah. Setelah melalui perdebatan yang cukup
alot, kami lantas mengambil kesimpulan, bahwa penyebabnya adalah belum
diterapkannya sistem Reward and Punishment. Dalam bahasa kami, biasa disebut PGPS, Pinter Goblok Penghasilan Sama.
“Buat apa gue kerja giat kalau sama aja bayarannya sama Mamath, yang sering bolos ngantor..?!” Bunga (bukan nama sebenarnya), seorang pegawai kecamatan, 27 tahun.
Got the point..?! Ya, dalam setiap benak pegawai tidak ada motivasi untuk bekerja lebih giat, karena itu useless. Tentu saja, juga tidak ada rasa takut untuk berbuat kesalahan, karena tidak ada punishment (hukuman/sanksi)
yang tegas. Hal ini hampir tidak ditemui di sektor swasta, karena
hampir semua perusahaan swasta telah menerapkan sistem Reward and Punishment. Adanya bonus tentu akan memotivasi karyawan untuk bekerja lebih keras bagai kuda.
Diiming-imingi reward dan terus dicambuki.. dijamin kerja keras |
Jadi, kalau boleh saran, bagi instansi yang belum menerapkannya, kami
sangat merekomendasikan untuk mulai mengkaji penerapan sistem Reward and Punishment.
Beri iming-iming bonus/tunjangan/penghargaan untuk pegawai yang
berprestasi. Jangan lupa tetapkan sanksi tegas bagi pegawai yang
berkinerja buruk seperti pemotongan gaji/tunjangan, penurunan pangkat,
pencopotan jabatan, mutasi ke daerah terpencil, atau kalau mau lebih
ampuh, tetapkan hukuman yang sadis, seperti hukuman cambuk, atau hukuman
mengenakan ban lengan bermotif Hello Kitty.
Kalau sistem Reward and Punishment sudah berjalan dengan
baik, dijamin semua pegawai akan berlomba-lomba bekerja maksimal dan
memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, demi meraih bonus yang
sudah dijanjikan. Percayalah, sebenarnya segala sesuatunya
ujung-ujungnya duit. Kalau ada yang Halal, mengapa harus ambil yang
haram. Owyeaahh..!!
3. Penempatan pegawai yang kurang tepat
Sarjana Tekhnik Kimia jadi pegawai administrasi, Sarjana Hukum jadi
pranata komputer, Sarjana IT jadi front officer, Sarjana Pertanian jadi
kepala dinas kependudukan dan catatan sipil. Carut marut rekrutmen dan
penempatan pegawai di Republik kita tercinta ini sudah cerita lama.
Menyedihkan memang, tapi itulah kenyataannya.
Simpel aja. Bagaimana mungkin kita mengharapkan kinerja maksimal dari
seseorang, ketika yang bersangkutan diberi pekerjaan yang kurang/tidak
sesuai dengan bidang keahliannya..?! Ini seperti menyuruh Bambang Pamungkas main Tenis. Gak nyambung, manis…
“Main Tenis jebule angel yooo...” |
Saran kami untuk persoalan ini sih sederhana, atur ulang penempatan
pegawai. Data ulang latar belakang akademis dan keahlian masing-masing
pegawai, dan tempatkan mereka di posisi/jabatan yang sesuai dengan
keahlian/kompetensinya. Serahkan setiap urusan pada ahlinya. Biar nyambung, gitu lo Mbang..
4. Menjamurnya praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
Yang ini sebenarnya tidak perlu dibahas sih. Semua juga sudah tahu
kalau yang satu ini emang sudah menjadi penyakit yang mewabah di semua
lini pemerintahan di Indonesia. Sepertinya kami tak perlu lagi
membahasnya lebih mendalam disini. Terlalu banyak yang harus dibahas
kalau sudah bicara persoalan korupsi di negara ini.
Dalam kesempatan ini, kami tertarik untuk menyorot korupsi dari sisi
lain, yaitu dari sisi melemahkan kinerja birokrasi, yang dalam hal ini,
akan berimbas pada buruknya pelayanan publik. Lemahnya penindakan
korupsi, membuat para pejabat dan pegawai korup bebas merajalela
menggerogoti sistem dari dalam. Hal ini kemudian mebuat para pegawai
yang bersih, jujur, dan berintegritas tinggi mengalami demoralisasi
tingkat akut. Semangat kerja menurun, karena merasa prestasinya
tertutupi dengan borok Korupsi di instansinya. Hasilnya, yang bobrok
makin bobrok, yang jujur dan bersih menjadi “malas” untuk bertindak
karena kerusakan sistem telah akut. Habis sudah.
Solusinya..?! Ya..seperti yang sudah sering digembar-gemborkan banyak
pihak, lah. Berantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Gantung
Koruptor..!! Hidup Sandra Dewi..!! (Ehh…..maaf,keceplosan..)
5. Maraknya Suap/Gratifikasi
Sebenarnya, sesuai UU No.31 Tahun 2009 tentang Pemberantasan Korupsi, suap/gratifikasi/uang pelicin/sogok-menyogok atau whatever they named it,
termasuk dalam ranah Korupsi. Tapi kami memutuskan untuk membuatnya
menjadi point tersendiri karena…errr.. menarik untuk dibahas.
Well, soal maraknya suap/gratifikasi/blablabla ini, kita
tidak bisa menimpakan semua kesalahan kepada oknum birokrat nakal yang
suka mencari celah. Gak bakal ada yang jual kalau gak ada yang beli.
Sama seperti fenomena prostitusi di negara kita ini. Gak bakal ada
pelacur kalau gak ada om-om genit mata keranjang berkantung tebal gak
takut dosa yang suka jajan.
Sebenarnya tidak ada urgensi untuk menampilkan gambar ini, yaah.. anggap saja buat “penyejuk mata” |
Demikian juga dengan birokrasi dan pelayanan publik. Tidak bakal ada
istilah “wani piro” atau KUHP (Kasih Uang Habis Perkara) kalau emang gak
ada “pelanggannya”. Siapa? Ya masyarakat itu sendiri.
Kasih Uang Habis Perkara |
Selalu saja ada segelintir orang yang mencoba untuk “bypass” segala prosedur baku agar urusannya bisa selesai lebih cepat dan mudah. And nowadays,
tidak ada bentuk iming-iming yang lebih sakti daripada uang. Sama
seperti prostitusi, ketika masih sepi dibiarkan dan tidak ditindak,
awalnya hanya beberapa ciblek mangkal di pinggir jalan,
lama-lama jadi lokalisasi. Pun demikian, praktek suap-menyuap ini
mulanya sedikit dan terselubung, lama-lama menjadi marak, dan kemudian
malah menjadi semacam “Industri Baru” yang lantas juga ikut melibatkan
oknum-oknum lain di luar birokrasi, yang lantas beken dengan nama
“Calo”.
Akibatnya, ya seperti sekarang ini. Urusan yang ada duitnya akan
lebih didahulukan. Celakanya, karena sudah menjadi “Industri”,
permintaan mengalir terus, tanpa henti. Jadi, maaf beribu maaf bagi yang
gak punya duit, anda harus bersedia antre dan sabar lebih lama, err…
atau datang aja besok lagi.. eh, atau minggu depan aja lah yaa… toh
anda miskin kan, jadi udah terlatih dong buat sabar.. gak pa-pa
kaannn.. jangan marah yaa.. kan orang miskin dilarang menuntut..
okesip..
Masa’ kalah sama anak kecil..??! |
Solusinya..?? Tindak tegas tuh oknum-oknum yang masih suka minta
disuapin. Ketatkan pengawasan, dan beri sanksi tegas buat yang terbukti
menerima suap. Di sisi lain, beri juga sanksi bagi masyarakat yang
mencoba melakukan suap, meski cuma sedikit. Berantas mulai dari yang
kecil, biar gak membesar dan menggurita.
6. Kurangnya komitmen untuk berubah
Oke, jadi sampai sekarang kita sudah membahas 5 penyebab buruknya
pelayanan publik di Republik kita tercinta ini. Sayangnya,
saudara-saudara se-Bangsa dan se-Tanah Air, hal-hal tersebut akan terus
terjadi, kalau para birokrat kita tidak punya komitmen untuk berubah, ke
arah yang lebih baik.
Yup, kurangnya komitmen untuk berubah adalah faktor penyebab no.6
menurut kami. Padahal beragam solusi dan saran sudah banyak dirumuskan.
Tapi implementasinya kok gak maksimal. Dari penerawangan ngawur kami,
sepertinya masih banyak pihak yang gak mau sistem berjalan baik.
“Berubah..?! Oke.. tapi bentar yaa.. Jangan sekarang.. Lagi tanggung nihh..” |
Mengapa..?! Yah, kalau sistem berjalan dengan baik, maka
“celah-celah” yang biasanya dipakai untuk mengeruk duit negara akan
makin mengecil, dan bukan mustahil akan tertutup rapat. Kalau udah
begini, tikus-tikus itu tidak lagi bisa berpesta pora. Tentu mereka gak
mau dong, sumber pendapatan yang bakal mereka pakai buat beli Mobil
mewah dan jalan-jalan ke Hongkong menguap begitu saja.
Ciieee... Yang lagi apes kena razia. |
Kalau sistem berjalan dengan baik, maka tidak akan ada lagi sarapan-ngopi-baca koran sampai jam 10 pagi, Tidak akan ada lagi jalan-jalan belanja baju di jam kerja. Tidak akan ada lagi buka facebook dan main Texas Hold’em Poker seharian penuh.
Menyedihkan memang; salah 1 alasan mengapa mereka enggan untuk berubah mungkin disebabkan karena.. yaah, gak ada nilai lebih yang
didapatkan kalau mereka berubah. Yang ada sumber pendapatan (ilegal)
hilang, kerja santai-santai hilang, “langganan” hilang.
“Jadi bagusnya gimana ya..?! Biar semuanya punya komitmen untuk berubah gitu..?!”
Well, kami nggak tahu. Diskusi bareng-bareng mungkin? Kreatif sih, Bos.. Lakukan riset, panggil konsultan kek, atau kalau perlu studi banding ke Jerman lah,
kan ada anggarannya, sekalian biar anda-anda bisa jalan-jalan kan. Atau bisa juga
membiayai kami untuk melakukan riset, dijamin kami akan meriset dan
meronda sekuat tenaga.
“Ah jangan bercanda dong.. Kami lagi sibuk berdebat ngurusin masalah Om Roy nih, gak sempet mikirin yang beginian. Bantulah cari solusi, yang simpel-simpel aja.. Ntar kalo berhasil saya kasih amplop deh..”
Kami Gak doyan Amplop, Bos. Kalo Dikasih Duit Honor aja gimana..?! Seriously, tidak ada yang mengerti cara apa yang tepat untuk
menyelesaikan masalah ini. Solusi klise lagi barangkali? Misalnya, diberi
kenaikan penghasilan, biar birokrat kita tuh semangat untuk berubah. Atau
Diikutkan simulasi alam kubur, biar pada takut dosa, biar inget neraka. Kemudian benahi penegakan hukum, biar yang salah pada ditangkepin, biar pada kapok, jadi yang belum ketahuan pada takut, terus berubah.. Gitu Loo..
Ah entahlah, mikirin ginian cuma bikin pusing.. Udahan dulu yaa.. banyak kerjaan lain niih…
===+*+===
Akhir
kata, kami cuma bisa menyarankan wahai Bapak-Ibu birokrat dan
anggota dewan yang terhormat, sadarilah ini. Dengarlah jeritan hati rakyat,
yang minta diperhatikan. Berubah.. mari kita semuanya berubah menjadi lebih
baik. Tak perlu saling tunjuk.. seperti kata Bro AA.Gym, 3M, Mulai dari diri
sendiri, Mulai dari hal kecil, Mulai dari sekarang. Kalo semua pihak berkomitmen
untuk berubah, kami yakin, semuanya akan menjadi lebih baik.
Kami Cinta Indonesia...!! |
Karena kami.. Cinta Indonesia..!!
Merdeka...!!
========================================================================
Tulisan ini juga dapat kalian temukan di :
Blogger Comment
Facebook Comment