Raganya Indonesia,
Tetapi jiwanya tidak lagi nusantara..
Satu kelompok berkuasa,
Sisanya pengaya saja..
Sebagian kecil kelompok kaya,
Sisanya menanggung derita..
Sepenggal kalimat dari novel Negara Kelima karya E.S. Ito diatas menjadi gambaran dari keadaan Indonesia saat ini. Bagaimana tidak? Di Negara dengan kekayaan alam yang luar biasa, tanah yang subur, masih ada orang yang bahkan tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan fisik dasar manusia, seperti makan.
Angka kemiskinan yang dikeluarkan BPS terakhir mencapai 36 juta orang atau 13,33 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai sekitar 237 juta jiwa. Untuk perhitungan ini, standart kemiskinan yang ditetapkan adalah Rp200.000/bulan. Standart yang masih sangat rendah. Itu artinya, orang dikatakan "tidak miskin" apabila berpenghasilan sekitar Rp6.600/hari. Sudah layakkah penghasilan sebesar itu? Tidak, apalagi kalau di kota besar. Masih banyak orang yang tidak bisa makan, dan tidur di jalanan atau kolong jembatan. Itu artinya, angka "kemiskinan" sebenarnya di Indonesia pasti lebih besar dari itu.
Ironisnya, menurut data dalam "Credit Suisse Global Wealth Report" yang baru saja dipublikasikan oleh sebuah lembaga riset finansial top, Credit Suisse Insitute, dari kantor pusatnya di Swiss, total kekayaan orang Indonesia mencapai US $1,8 triliun. Sebuah angka yang fantastis. Itu artinya, andaikan kita membagi rata total kekayaan tersebut kepada seluruh penduduk Indonesia, akan didapat angka US $7.595 alias sekitar 70 juta rupiah per orang. Lebih dari cukup untuk hidup secara layak. Tetapi faktanya, masih banyak penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Kesimpulannya jelas, distribusi pendapatan di negara ini sangat tidak merata. Kesenjangan sosial semakin lama semakin memburuk. Apalagi dengan makin kentalnya praktek kapitalisme di negara ini. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.
Kontras |
Dalam mengemukakan hal ini, saya tidak asal ngomong tanpa berdasarkan fakta. Hal ini benar-benar terjadi pada salah seorang saudara saya di Semarang. Sebelumnya, beliau punya toko kelontong, tidak besar, tapi cukup ramai. Cukup untuk menghidupi keluarganya yang berjumlah 5 orang. Tapi, sejak gencarnya serbuan Minimarket masuk kampung, tokonya semakin lama semakin sepi, dan akhirnya tidak lagi bisa diandalkan untuk menghidupi keluarganya. Sekarang, untuk menjaga dapur keluarganya tetap mengepul, saudara saya itu bekerja serabutan sebagai tukang pijat alternatif dan sesekali menerima reparasi elektronik. Itupun hasilnya tidak seberapa. Masih untung saudara saya itu punya keahlian lain. Bayangkan apa jadinya bila hal ini terjadi pada seorang pemilik toko/warung kecil yang tidak punya keahlian di bidang lain. Usahanya mati perlahan-lahan, seirama dengan makin menipisnya tabungan yang dia miliki. Sedangkan, di sisi lain, tuan pemilik modal tertawa bahagia melihat deretan rupiah terus mengalir ke rekeningnya, hasil omset tinggi minimarketnya, yang memang, secara jujur, jauh lebih menarik bagi konsumen daripada toko atau warung kecil.
Warung kelontong vs Minimarket (disamarkan) Duel yang tidak seimbang |
Menurut saya, usaha yang ideal adalah usaha yang padat karya, yang mampu menyerap banyak tenaga kerja, dan keberadaanya tidak mematikan entitas bisnis yang telah ada sebelumnya, sehingga mampu ikut serta dalam mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan di Indonesia. Seandainya saja banyak pemilik modal yang menyadari akan hal ini, dan ikut peduli dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat luas, seharusnya Indonesia bisa lebih baik dari sekarang.
Masalahnya, sekarang ini semakin sedikit saja orang yang peduli akan hal ini, dan lebih memilih jalan yang aman untuk investasinya. Apa yang terjadi..?? Ya seperti sekarang ini, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin, karena si kaya tak lagi peduli dengan si miskin.
Yang miskin semakin miskin.. |
Lalu apa lagi yang salah?
Masih banyak hal yang salah di republik ini. Atau lebih tepatnya, banyak hal salah yang dibenarkan di republik ini. Korupsi telah lama menggerogoti moral para pembesar negara ini. Keserakahan, ketamakan dan kesombongan atas kekuasaan, pangkat dan jabatan telah membuat mereka lupa akan amanah yang mereka emban. Jalannya negara dalam mengayomi rakyatnya menjadi limbung. Mereka punya kekuasaan, tapi tidak bisa mengendalikannya agar bermanfaat bagi rakyat. Apalah arti kekuasaan tanpa kendali.. What is power without control..?? Contohnya sudah banyak. Tak perlu rasanya disebutkan disini.
Jadi, bagaimana solusinya?
Reformasi yang diletupkan lebih dari satu dekade lalu sejauh ini belum membawa dampak yang signifikan.
Revolusi? Revolusi di tengah masyarakat yang sedang sakit seperti sekarang hanyalah mimpi di siang bolong. Omong kosong.
Mari mencoba untuk realistis.
Kita ini siapa? Apa kalau kita teriak teriak sekarang ada yang mau mendengarkan?
Di negara dimana konspirasi dan kebohongan publik adalah hal biasa, menentang secara frontal sama saja bunuh diri. Sudah banyak cerita orang baik jadi tumbal untuk kepentingan segelintir orang yang berkuasa. Disalahkan dan disingkirkan. Tahu apa kita apa yang terjadi di kalangan elit sana? Ya, kita tidak tahu apa apa. Mempergunjingkannya dan menduga duga kebenaran yang sebenarnya terjadi, itu sah sah saja. Tapi tidak akan menyelesaikan masalah.
Mari kita mulai dengan cara yang sederhana, dari diri kita sendiri. Instropeksi diri, apakah kita sudah cukup memberi manfaat untuk bangsa ini, dan untuk orang orang sekitar kita.
Mari kita mulai untuk menyebar ide dan pemikiran kita pada hal hal yg kita dalami. Lihat sekitar kita, dan coba pikirkan hal-hal kecil yang bisa dilakukan untuk melakukan perubahan yang baik, dan bermanfaat bagi orang banyak, terutama untuk mereka yang kekurangan. Bisa dengan membuka usaha sendiri, yang secara otomatis dapat membuka lapangan pekerjaan baru. Tapi ingat, perhatikan sekeliling kita. Jangan sampai usaha baru kita, yang dimaksudkan untuk membuka lapangan pekerjaan baru, malah membunuh lapangan pekerjaan lain yang telah ada sebelumnya.
Hanya kehancuran yang kita dapat kalau melawan sistem. Mari melakukan hal yang berbeda, bersama sama kita memperbaiki sistem yang rusak ini. Kalau saja dalam setiap benak orang Indonesia punya keinginan untuk maju bersama, ikut memikirkan nasib orang lain, tidak mementingkan diri sendiri, saya yakin negara ini akan menjadi lebih baik.
Satu orang tidak akan bisa membuat negara ini menjadi lebih baik. Mari bersama kita bangun Indonesia. Bangkit dari keterpurukan. Bangkit dari kemiskinan.
Karena disana,
Mereka seakan mengadu kepada Sang Pemilik Waktu
Tentang kepedulian dan kesetiakawanan
yang seakan tak kunjung datang
Dari sesama insan, Yang telah hidup dalam kemapanan.
Haruskah kita berdiam diri
Memenuhi ambisi-ambisi pribadi
Yang kadang memburu tanpa kendali
Meski saudara kita, diantara hidup dan mati
Tidak, tidak dan tidak…..!
Karena hidup bukan untuk saling berlomba keserakahan
Hidup juga bukan untuk saling bergengsi kesombongan
Tetapi… Hidup adalah untuk saling membantu sesama insan
Karenanya,
Marilah kita saling berlomba, untuk membantu mereka.
Agar mereka terbebas sebagai kaum melarat
(Petikan Puisi “Balada Kemiskinan dan Bencana” Oleh : Pusdatin Kesos)
Blogger Comment
Facebook Comment